Umat Islam diberikan dua perkara yang apabila umatnya berpegang teguh
kepada dua perkara ini niscaya tidak akan dijumpai kesesatan maupun
kebingungan dalam menjalani kehidupan ini. Hal inilah yang telah
diterangkan oleh nabi kita Muhammad SAW. Dalam setiap bentuk peribadatan
maupun muamalah. Tidak ketinggalan perkara pernikahan pun telah
diberikan petunjuk baik itu dalam Al Qur’an, Hadits, Kisah-kisah nabi
dan sahabat, Fiqih, dll.
Dalam
Islam, pernikahan merupakan perkara yang penting. Pada masa sebelum
Islam, aturan dalam pernikahan tentu sangat berbeda dan mungkin bahkan
lebih buruk ataupun dipandang rendah. Kedatangan Islam membawa perubahan
agar manusia pada masa itu lebih baik keadaannya, hukumnya, adabnya,
dan membawa berkah. Hubungan antar laki-laki dan perempuan pun diatur
untuk menjaga fitrahnya. Hingga pada hubungan pernikahan, keluarga dan
bertetangga.
Aturan dalam pernikahan ini telah membawa pengaruh yang besar pada perubahan peradaban sehingga tercipta masyarakat yang madani, sejahtera, adil dan makmur. Begitu pentingnya perkara pernikahan ini sehingga telah diatur dan dicontohkan dalam Al qur’an, hadits, fiqih, kisah-kisah, dll. Karena dari pernikahan ini merupakan awal dari pembinaan akhlak keluarga yang baik hingga akhlak pribadi, lingkungan tetangga, masyarakat dan negara.
Perkataan Zawaj digunakan di dalam Al Qur’an bermaksud pasangan. Dalam penggunaannya perkataan ini bermaksud menjadikan manusia itu berpasang-pasangan, menghalalkan perkawinan dan mengharamkan zina. Persoalan pernikahan adalah persoalan yang selalu aktual dan selalu menarik untuk dibicarakan. Hingga perkembangan zaman sekarang inipun pernikahan menjadi sorotan masyarakat. Pernikahan bukanlah persoalan kecil dan sepele. ‘Aqad nikah (perkawinan) adalah sebagai suatu perjanjian yang kokoh dan suci.

Syarat Ijab
Syarat qabul
Mahar
Mahar (atau diistilahkan dengan mas kawin) adalah hak seorang wanita yang harus dibayar oleh laki-laki yang akan menikahinya. Mahar merupakan milik seorang isteri dan tidak boleh seorang pun mengambilnya, baik ayah maupun yang lainnya, kecuali dengan keridhaannya. Allah Berfirman:
Ada Wali
Yang dikatakan wali adalah orang yang paling dekat dengan si wanita. Dan orang paling berhak untuk menikahkan wanita merdeka adalah ayahnya, lalu kakeknya, dan seterusnya ke atas. Boleh juga anaknya dan cucunya, kemudian saudara seayah seibu, kemudian saudara seayah, kemudian paman.
Ibnu Baththal rahimahullaah berkata, “Mereka (para ulama) ikhtilaf tentang wali. Jumhur ulama di antaranya adalah Imam Malik, ats-Tsauri, al-Laits, Imam asy-Syafi’i, dan selainnya berkata, “Wali dalam pernikahan adalah ‘ashabah (dari pihak bapak), sedangkan paman dari saudara ibu, ayahnya ibu, dan saudara-saudara dari pihak ibu tidak memiliki hak wali.”
Syarat wali
Ada Saksi-saksi
Syarat-syarat saksi
Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Sumber Referensi:
Al Qur’an dan Terjemahannya
http://denchiel78.blogspot.com/2010/04/perkawinan-menurut-hukum-islam.html
Aturan dalam pernikahan ini telah membawa pengaruh yang besar pada perubahan peradaban sehingga tercipta masyarakat yang madani, sejahtera, adil dan makmur. Begitu pentingnya perkara pernikahan ini sehingga telah diatur dan dicontohkan dalam Al qur’an, hadits, fiqih, kisah-kisah, dll. Karena dari pernikahan ini merupakan awal dari pembinaan akhlak keluarga yang baik hingga akhlak pribadi, lingkungan tetangga, masyarakat dan negara.
Pengertian / Definisi
Perkawinan atau nikah menurut bahasa ialah berkumpul dan bercampur.
Menurut istilah ialah Ijab dan Qabul (‘aqad) yang menghalalkan
persetubuhan antara lelaki dan perempuan yang diucapkan oleh kata-kata
yang menunjukkan nikah, menurut peraturan yang ditentukan oleh Islam.Perkataan Zawaj digunakan di dalam Al Qur’an bermaksud pasangan. Dalam penggunaannya perkataan ini bermaksud menjadikan manusia itu berpasang-pasangan, menghalalkan perkawinan dan mengharamkan zina. Persoalan pernikahan adalah persoalan yang selalu aktual dan selalu menarik untuk dibicarakan. Hingga perkembangan zaman sekarang inipun pernikahan menjadi sorotan masyarakat. Pernikahan bukanlah persoalan kecil dan sepele. ‘Aqad nikah (perkawinan) adalah sebagai suatu perjanjian yang kokoh dan suci.
Pernikahan adalah Fitrah Kemanusiaan
Agama Islam adalah agama fitrah (suci) dan manusia diciptakan Allah
Ta’ala cocok dengan fitrah ini, karena itu Allah Subhanahu Wa Ta’ala
menyuruh manusia menghadapkan diri ke agama fitrah agar tidak terjadi
penyelewengan dan penyimpangan. Sehingga manusia berjalan diatas
fitrahnya. Pernikahan adalah fitrah kemanusiaan, maka dari itu Islam
menganjurkan untuk nikah, karena nikah merupakan Gharizah Insaniyah
(naluri kemanusiaan).
Anjuran Menikah dalam Islam
Penghargaan Islam terhadap ikatan pernikahan sangatlah besar.
Diantara kita mungkin telah mengetahui bahwa pernikahan itu disebutkan
sebanding dengan separuh agama. Hal ini disebutkan dalam hadits dari
Anas r.a. berkata telah bersabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam:
“Barangsiapa menikah, maka ia telah melengkapi
separuh dari agamanya. Dan hendaklah ia bertaqwa kepada Allah dalam
memelihara yang separuhnya lagi”.
Membujang Tidak Disukai dalam Islam
Anas radliyallahu ‘anhu berkata Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam memerintahkan kami untuk nikah dan melarang kami membujang dengan
larangan yang keras. Dan beliau bersabda:
“Nikahilah perempuan yang banyak anak dan
penyayang. Karena aku akan berbangga dengan banyaknya umatku dihadapan
para Nabi kelak di hari kiamat.”
Kemudian dalam hadits lainnya ketika Rasulullah mengetahui bahwa
diantara sahabat ada yang sangat taat dalam beribadah sehingga mereka
puasa terus menerus, menjauhi wanita dan tidak menikah. Sehingga Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Benarkah kalian telah berkata begini dan
begitu, sungguh demi Allah, sesungguhnya akulah yang paling takut dan
taqwa di antara kalian. Akan tetapi aku berpuasa dan aku berbuka, aku
shalat dan aku juga tidur dan aku juga mengawini perempuan. Maka
barangsiapa yang tidak menyukai sunnahku, maka ia tidak termasuk
golonganku”.
Hukum Pernikahan dalam Islam
Pernikahan dalam Islam seperti yang telah
dijelaskan sebelumnya bahwa sangat dianjurkan dan hukumnya adalah
mubah. Akan tetapi ada beberapa pengertian yang perlu kita pahami akan
hukum seseorang apabila menikah / hendak menikah. Hukum pernikahan yang
dijelaskan adalah sbb:
- Wajib. Kepada orang yang mempunyai nafsu yang kuat. Sehingga apabila dia tidak menikah bisa menjerumuskannya ke lembah maksiat (zina dan sebagainya) dan dia seorang yang mampu. Mampu ini bermaksud dia mampu membayar mahar dan menafkahi isterinya.
- Sunat. Kepada orang yang sudah mampu tetapi dia masih dapat menahan nafsunya.
- Mubah. Kepada orang yang tidak ada larangan baginya untuk menikah dan ini merupakan hukum asal pernikahan.
- Makruh. Kepada orang yang tidak mampu nafkah batin dan lahir tetapi dia juga tidak memberikan kemudaratan kepada isterinya.
- Haram. Kepada orang yang tidak mampu untuk memberi nafkah batin dan lahir, dia juga tidak berkuasa (lemah), tidak punya keinginan menikah, serta dikhawatirkan dapat/akan menganiaya isterinya jika menikah.
Tujuan dari Pernikahan dalam Islam
- A. Memenuhi Tuntutan Naluri Manusia. Perkawinan adalah fitrah manusia, maka jalan yang sah untuk memenuhi kebutuhan ini yaitu dengan aqad nikah (melalui jenjang pernikahan). Bukan dengan cara yang berbeda seperti sekarang ini dengan berpacaran, kumpul kebo, melacur, berzina, lesbi, homo, dan lain sebagainya yang telah menyimpang dan diharamkan oleh Islam.
- B. Membentengi Ahlak Manusia. Islam memandang pernikahan dan pembentukan keluarga sebagai sarana efefktif untuk memelihara pemuda dan pemudi dari kerusakan, dan melindungi masyarakat dari kekacauan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Wahai para pemuda ! Barangsiapa diantara kalian
berkemampuan untuk nikah, maka nikahlah, karena nikah itu lebih
menundukan pandangan, dan lebih membentengi farji (kemaluan). Dan
barangsiapa yang tidak mampu, maka hendaklah ia puasa (shaum), karena
shaum itu dapat membentengi dirinya”.
- C. Menegakkan Rumah Tangga Yang Islami. Tujuan yang luhur dari pernikahan adalah agar suami istri melaksanakan syari’at Islam dalam rumah tangganya. Dalam Al Qur’an disebutkan bahwa Islam membenarkan adanya Thalaq (perceraian), jika suami istri sudah tidak sanggup lagi menegakkan batas-batas Allah, sebagaimana firman Allah:
“Thalaq (yang dapat dirujuki) dua kali, setelah
itu boleh rujuk lagi dengan cara ma’ruf atau menceraikan dengan cara
yang baik. Tidak halal bagi kamu mengambil kembali dari sesuatu yang
telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak
akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas
keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus
dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya.
Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka itulah orang-orang
yang dhalim.”.“Kemudian jika si suami menthalaqnya
(sesudah thalaq yang kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya
hingga dikawin dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain
itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami yang
pertama dan istri) untuk kawin kembali, jika keduanya berpendapat akan
dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah,
diterangkannya kepada kaum yang (mau) mengetahui“.(Al Baqarah(2):290-230)
- D. Meningkatkan Ibadah Kepada Allah. Rumah tangga adalah salah satu peribadatan dan amal shalih di samping ibadah dan amal-amal shalih yang lain. Bahkan hubungan / bersetubuh termasuk ibadah (sedekah). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Jika kalian bersetubuh dengan istri-istri kalian
termasuk sedekah !. Mendengar sabda Rasulullah para shahabat keheranan
dan bertanya : “Wahai Rasulullah, seorang suami yang memuaskan nafsu
birahinya terhadap istrinya akan mendapat pahala ?” Nabi shallallahu
alaihi wa sallam menjawab : “Bagaimana menurut kalian jika mereka (para
suami) bersetubuh dengan selain istrinya, bukankah mereka berdosa .?
Jawab para shahabat :”Ya, benar”. Beliau bersabda lagi : “Begitu pula
kalau mereka bersetubuh dengan istrinya (di tempat yang halal), mereka
akan memperoleh pahala !”.
- E. Mencari Keturunan Yang Shalih. Tujuan pernikahan di antaranya ialah untuk melestarikan dan mengembangkan bani Adam. Dan yang terpenting lagi dalam pernikahan bukan hanya sekedar memperoleh anak, tetapi berusaha mencari dan membentuk generasi yang berkualitas, yaitu mencari anak yang shalih dan bertaqwa kepada Allah.Tentunya keturunan yang shalih tidak akan diperoleh melainkan dengan pendidikan Islam yang benar. Allah berfirman :
“Allah telah menjadikan dari diri-diri kamu itu
pasangan suami istri dan menjadikan bagimu dari istri-istri kamu itu,
anak-anak dan cucu-cucu, dan memberimu rezeki yang baik-baik. Maka
mengapakah mereka beriman kepada yang bathil dan mengingkari nikmat
Allah ?”.
Tata Cara Pernikahan Dalam Islam
Islam telah memberikan konsep yang jelas tentang tata cara pernikahan berlandaskan Al Qur’an dan Sunnah, secara singkat adalah:- 1. Khitbah (Peminangan)
- 2. Aqad Nikah
Syarat Ijab
- Tidak boleh menggunakan perkataan sindiran
- Diucapkan oleh wali atau wakilnya
- Tidak diikatkan dengan tempo waktu
- Tidak secara taklik (tiada sebutan prasyarat sewaktu ijab dilafazkan)
Syarat qabul
- Ucapan sesuai dengan ucapan ijab
- Bukan perkataan sindiran
- Dilafazkan oleh calon suami atau wakilnya (atas sebab-sebab tertentu)
- Tidak diikatkan dengan tempo waktu seperti mutaah (nikah kontrak)
- Tidak secara taklik (tiada sebutan prasyarat sewaktu qabul dilafazkan)
- Menyebut nama calon isteri
- Tidak diselangi dengan perkataan lain
Mahar
Mahar (atau diistilahkan dengan mas kawin) adalah hak seorang wanita yang harus dibayar oleh laki-laki yang akan menikahinya. Mahar merupakan milik seorang isteri dan tidak boleh seorang pun mengambilnya, baik ayah maupun yang lainnya, kecuali dengan keridhaannya. Allah Berfirman:
“Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan.” (Ar Nisaa’(4):4)
Jenis mahar- Mahar Misil : Mahar yang dinilai berdasarkan mahar saudara perempuan yang telah menikah sebelumnya.
- Mahar Muthamma : Mahar yang dinilai berdasarkan keadaan, kedudukan, atau ditentukan oleh perempuan atau walinya.
Ada Wali
Yang dikatakan wali adalah orang yang paling dekat dengan si wanita. Dan orang paling berhak untuk menikahkan wanita merdeka adalah ayahnya, lalu kakeknya, dan seterusnya ke atas. Boleh juga anaknya dan cucunya, kemudian saudara seayah seibu, kemudian saudara seayah, kemudian paman.
Ibnu Baththal rahimahullaah berkata, “Mereka (para ulama) ikhtilaf tentang wali. Jumhur ulama di antaranya adalah Imam Malik, ats-Tsauri, al-Laits, Imam asy-Syafi’i, dan selainnya berkata, “Wali dalam pernikahan adalah ‘ashabah (dari pihak bapak), sedangkan paman dari saudara ibu, ayahnya ibu, dan saudara-saudara dari pihak ibu tidak memiliki hak wali.”
Syarat wali
- Islam, bukan kafir dan murtad
- Lelaki
- Baligh
- Dengan kerelaan sendiri dan bukan paksaan
- Bukan dalam ihram haji atau umrah
- Tidak Fasik
- Tidak cacat akal pikiran, terlalu tua dan sebagainya
- Merdeka
- Tidak ditahan kuasanya dari membelanjakan hartanya
Ada Saksi-saksi
Syarat-syarat saksi
- Sekurang-kurangnya dua orang
- Islam
- Berakal
- Baligh
- Lelaki
- Memahami isi lafaz ijab dan qabul
- Bisa mendengar, melihat dan berbicara
- Adil
- Merdeka
- 3. Walimah
Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
“Makanan paling buruk adalah makanan dalam walimah
yang hanya mengundang orang-orang kaya saja untuk makan, sedangkan
orang-orang miskin tidak diundang. Barangsiapa yang tidak menghadiri
undangan walimah, maka ia durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya” .
Sebab-Sebab Diharamkannya Pernikahan
- Perempuan yang diharamkan menikah dengan lelaki disebabkan keturunannya (haram selamanya) dan ia dijelaskan dalam Al-Qur’an:
“Diharamkan atas kamu (mengawini)
ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang
perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu
yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang
laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan;
ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu
isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari
isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan
isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu
mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu
(menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang
bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; sesungguhnya
Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (An Nisaa’(4):23)
- Perempuan yang diharamkan menikah dengan lelaki disebabkan karena sepersusuan.
- Perempuan merupakan muhrim bagi lelaki karena pernikahannya.
- Perempuan yang merupakan anak saudara perempuan dari isteri dan keturunannya.
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya
ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya
kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya
diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu
benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.”
Sumber Referensi:
Al Qur’an dan Terjemahannya
http://denchiel78.blogspot.com/2010/04/perkawinan-menurut-hukum-islam.html